Minggu, 09 September 2012

CERITA ANAK-ANAK

Kerbau dan Kambing
 Seekor kerbau jantan berhasil lolos dari serangan seekor singa, dengan cara memasuki sebuah gua. Di mana gua tersebut sering digunakan oleh kumpulan kambing sebagai tempat berteduh dan menginap pada saat malam tiba ataupun saat cuaca sedang memburuk.
Saat itu hanya si kambing jantan yang ada di dalam gua tersebut. Ketika kemudian kerbau masuk ke dalam gua, kambing jantan itupun menundukkan kepalanya, berlari untuk menabrak kerbau tersebut dengan tanduknya, agar kerbau jantan itu keluar dari gua dan dimangsa oleh sang Singa. Tapi Kerbau itu hanya diam melihat tingkah laku sang Kambing. Sementara di luar, sang Singa berkeliaran di muka gua mencari mangsanya.
Lalu sang kerbau berkata kepada sang kambing, "Kambing, jangan berpikir bahwa saya akan menyerah dan diam saja melihat tingkah lakumu yang pengecut, kamu pikir saya takut kepadamu? Saat singa itu pergi, aku akan memberi kamu pelajaran yang tidak akan pernah kamu lupakan."
Sangatlah jahat, mengambil keuntungan dari kemalangan orang lain.

Anjing dan Bayangannya
Seekor anjing mendapatkan sebuah tulang dari seseorang, ia pun berlari-lari pulang ke rumahnya secepat mungkin dengan senang hati. Ketika dia melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, dia menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini mengira dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya.
Bila saja dia berhenti untuk berpikir, dia akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut akhirnya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat dia selamat tiba di tepi sungai, dia hanya bisa berdiri termenung dan sedih karena tulang yang di bawanya malah hilang, dia kemudian menyesali apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.
Sangatlah bodoh memiliki sifat yang serakah


Dua Orang Pengembara dan Seekor Beruang
Dua orang berjalan mengembara bersama-sama melalui sebuah hutan yang lebat. Saat itu tiba-tiba seekor beruang yang sangat besar keluar dari semak-semak di dekat mereka.
Salah satu pengembara, hanya memikirkan keselamatannya dan tidak menghiraukan temannya, ia segera memanjat ke sebuah pohon yang berada dekat dengannya.
Pengembara yang lain, merasa tidak dapat melawan beruang yang sangat besar itu sendirian, ia pun melemparkan dirinya ke tanah dan berbaring diam-diam, seolah-olah dia telah meninggal. Dia sering mendengar bahwa beruang tidak akan menyentuh hewan atau orang yang telah meninggal.
Temannya yang berada di pohon tidak berbuat apa-apa untuk menolong temannya yang berbaring. beruang itu sejenak mengendus-endus di dekat kepalanya, dan kelihatan puas bahwa korbannya telah meninggal, beruang tersebut lalu berjalan pergi.
Pengembara yang berada di atas pohon kemudian turun dari persembunyiannya.
"Kelihatannya seolah-olah beruang itu membisikkan sesuatu di telingamu," katanya. "Apa yang di katakan oleh beruang itu"
"Beruang itu berkata," kata pengembara yang berbaring tadi, "Tidak bijaksana berjalan bersama-sama dan berteman dengan seseorang yang membiarkan dan tidak menghiraukan temannya yang berada dalam bahaya."
Kemalangan dapat menguji sebuah persahabatan.


Semut dan Belalang
Pada siang hari di akhir musim gugur, keluarga semut yang telah bekerja keras sepanjang musim panas untuk mengumpulkan makanan, mengeringkan butiran-butiran gandum yang telah mereka kumpulkan. Saat itu seekor belalang yang kelaparan, dengan sebuah biola di tangannya datang dan memohon dengan sangat agar keluarga semut itu memberikan sedikit makan untuk dirinya.
"Apa!" teriak sang Semut dengan terkejut, "tidakkah kamu telah mengumpulkan dan menyiapkan makanan untuk musim dingin yang akan datang ini? Selama ini apa saja yang kamu lakukan sepanjang musim panas?"
"Saya tidak mempunyai waktu untuk mengumpulkan makanan," keluh sang Belalang; "Saya sangat sibuk membuat lagu, dan sebelum saya sadari, musim panas pun telah berlalu."
Semut tersebut kemudian mengangkat bahunya karena merasa gusar.
"Membuat lagu katamu ya?" kata sang Semut, "Baiklah, sekarang setelah lagu tersebut telah kamu selesaikan pada musim panas, sekarang saatnya kamu menari!" Kemudian semut-semut tersebut membalikkan badan dan melanjutkan pekerjaan mereka tanpa mempedulikan sang Belalang lagi.
Ada saatnya untuk bekerja dan ada saatnya untuk bermain.


Burung Gagak dan Sebuah Kendi
Pada suatu musim yang sangat kering, saat itu burung-burung pun sangat sulit mendapatkan sedikit air untuk diminum, seekor burung gagak menemukan sebuah kendi yang berisikan sedikit air. Tetapi kendi tersebut merupakan sebuah kendi yang tinggi dengan leher kendi sempit. Bagaimanapun burung gagak tersebut berusaha untuk mencoba meminum air yang berada dalam kendi, dia tetap tidak dapat mencapainya. Burung gagak tersebut hampir merasa putus asa dan merasa akan mati karena kehausan.
Tiba-tiba sebuah ide muncul dalam benaknya. Dia lalu mengambil kerikil yang ada di samping kendi, kemudian menjatuhkannya ke dalam kendi satu per satu. Setiap kali burung gagak itu memasukkan kerikil ke dalam kendi, permukaan air dalam kendi berangsur-angsur naik dan bertambah tinggi, sehingga akhirnya air tersebut dapat dicapai oleh paruh sang burung Gagak.
Walaupun sedikit, pengetahuan bisa menolong diri kita pada saat yang tepat.


Pemerah Susu dan Ember nya
Seorang wanita pemerah susu telah memerah susu dari beberapa ekor sapi dan berjalan pulang kembali dari peternakan, dengan seember susu yang dijunjungnya di atas kepalanya. Saat dia berjalan pulang, dia berpikir dan membayang-bayangkan rencananya ke depan.
"Susu yang saya perah ini sangat baik mutunya," pikirnya menghibur diri, "pasti akan menjadi banyak cream lezat. Saya akan membuat mentega yang banyak dari cream itu dan menjualnya ke pasar, dan dengan uang yang saya miliki nantinya, saya akan membeli banyak telur dan menetaskannya, Sungguh sangat indah kelihatannya apabila telur-telur tersebut telah menetas dan ladangku akan dipenuhi dengan ayam-ayam muda yang sehat. Pada suatu saat, saya akan menjualnya, dan dengan uang tersebut saya akan membeli baju-baju yang cantik untuk di pakai ke pesta. Semua pemuda ganteng akan melihat ke arahku. Mereka akan datang dan mencoba merayuku, tetapi saya akan mencari pemuda yang memiliki usaha yang bagus saja!"
Ketika dia sedang memikirkan rencana-rencananya yang indah itu, dia menganggukkan kepalanya dengan bangga, dan tanpa disadari, ember yang berada di kepalanya jatuh ke tanah, dan semua susu yang telah diperah mengalir tumpah ke tanah, dengan itu hilanglah semua angan-angannya tentang mentega, telur, ayam, baju baru beserta kebanggaannya.
Jangan menghitung ayam yang belum menetas
.

Si Pelit
Seorang yang sangat pelit mengubur emasnya secara diam-diam di tempat yang dirahasiakannya di taman. Setiap hari dia pergi ke tempat dimana dia mengubur emasnya, menggalinya dan menghitungnya kembali satu-persatu untuk memastikan bahwa tidak ada emasnya yang hilang. Dia pun sangat sering melakukan hal itu hingga suatu kali, seorang pencuri memperhatikannya. Dan malam, dengan diam-diam pencuri itu menggali harta karun tersebut dan membawanya pergi.
Ketika si Pelit menyadari telah kehilangan hartanya, dia menjadi sangat sedih dan putus asa. Dia mengerang-erang sambil menarik-narik rambutnya.
Kebetulan seorang pengembara lewat di tempat itu mendengarnya menangis dan bertanya apa saja yang terjadi.
"Emasku! oh.. emasku!" kata si Pelit, "seseorang telah merampok saya!"
"Emasmu, di dalam lubang itu? Mengapa kamu menyimpannya di sana? Mengapa emas tersebut tidak kamu simpan di dalam rumah di mana kamu dapat dengan mudah mengambilnya saat kamu ingin membeli sesuatu?"
"Membeli sesuatu?" teriak si Pelit dengan marah. "Saya tidak akan membeli sesuatu dengan emas itu. Saya bahkan tidak pernah berpikir untuk berbelanja sesuatu dengan emas itu." teriaknya lagi dengan marah.
Pengembara itu kemudian mengambil sebuah batu besar dan melemparkannya ke dalam lubang harta karun yang telah kosong itu.
"Kalau begitu," katanya lagi, "tutup dan kuburkan batu itu, nilainya sama dengan hartamu yang telah hilang!"
Harta yang kita miliki sama nilainya dengan kegunaan harta tersebut.


Keledai dan Garam Muatannya
Seorang pedagang, menuntun keledainya untuk melewati sebuah sungai yang dangkal. Selama ini mereka telah melalui sungai tersebut tanpa pernah mengalami satu pun kecelakaan. Tetapi kali ini, keledainya tergelincir dan jatuh, tepat di tengah-tengah sungai tersebut. Ketika pedagang tersebut akhirnya berhasil membawa keledai serta muatannya ke pinggir sungai dengan selamat, kebanyakan dari garam yang dimuat oleh keledai telah meleleh dan larut ke dalam air sungai. Keledai pun gembira karena merasakan muatannya telah berkurang sehingga beban yang dibawa menjadi lebih ringan, dan mereka pun melanjutkan perjalanan.
Pada hari berikutnya, sang Pedagang kembali membawa muatan garam. Sang Keledai yang mengingat pengalamannya kemarin saat tergelincir di tengah sungai itu, dengan sengaja membiarkan dirinya tergelincir jatuh ke dalam air, dan akhirnya dia bisa mengurangi bebannya kembali dengan cara itu.
Pedagang yang merasa marah, kemudian membawa keledainya tersebut kembali ke pasar, dimana keledai tersebut di muati dengan keranjang-keranjang yang sangat besar dan berisikan spons. Ketika mereka kembali tiba di tengah sungai, sang keledai kembali dengan sengaja menjatuhkan diri, tetapi pada saat pedagang tersebut membawanya ke pinggir sungai, sang keledai menjadi sangat tidak nyaman karena harus dengan terpaksa menyeret dirinya pulang kerumah dengan beban yang sepuluh kali lipat lebih berat dari sebelumnya akibat spons yang dimuatnya menyerap air sungai.
Cara yang sama tidak cocok digunakan untuk segala situasi.



Dua Ekor Kambing
Dua ekor kambing berjalan dengan gagahnya dari arah yang berlawanan di sebuah pegunungan yang curam, saat itu secara kebetulan mereka bersamaan masing-masing tiba di tepi jurang yang di bawahnya mengalir air sungai yang sangat deras. Sebuah pohon yang jatuh, telah dijadikan jembatan untuk menyebrangi jurang tersebut. Pohon yang dijadikan jembatan tersebut sangatlah kecil sehingga tidak dapat dilalui secara bersamaan oleh dua ekor tupai, apalagi oleh dua ekor kambing. Jembatan yang sangat kecil itu akan membuat orang yang paling berani pun akan menjadi ketakutan. Tetapi kedua kambing tersebut tidak merasa ketakutan. Rasa sombong dan harga diri mereka tidak membiarkan mereka untuk mengalah dan memberikan jalan terlebih dahulu kepada kambing lainnya.
Saat salah satu kambing menapakkan kakinya ke jembatan itu, kambing yang lainnya pun tidak mau mengalah dan juga menapakkan kakinya ke jembatan tersebut. Akhirnya keduanya bertemu di tengah-tengah jembatan. Keduanya masih tidak mau mengalah dan malahan saling mendorong dengan tanduk mereka, sehingga kedua kambing tersebut akhirnya jatuh ke dalam jurang dan tersapu oleh aliran air yang sangat deras di bawahnya.
Lebih baik mengalah daripada mengalami nasib sial karena keras kepala.



TIMUN EMAS
Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja.
Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan di tengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”.
Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”.
Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas.
Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas.
Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni.
Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung.
Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa.
Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa.
Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas.
Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar.
Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati.
Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai.



 KANCIL DAN ANJING PEMBURU
Terdengar suara letusan senapan, dor..dor…. Kancil yang sedang berbaring di bawah pohon rindang segera bangun. Seekor babi rusa berlari kencang sambil berteriak lantang, “Lari! Ada pemburu. Lari!”
Dor… Dor … Sebuah peluru melaju ke arah Kancil.
Swing. Kancil merasakan angin yang panas menderu di atas kepalanya. Untunglah Kancil dapat menunduk tepat sebelum peluru mengenai kepalanya sehingga ia selamat.
Kancil kemudian berlari kencang menerabas semak-semak berduri. Ia tidak mempedulikan rasa nyeri dan perih di tubuhnya.
“Mengapa manusia begitu kejam pada kami? Kami tidak pernah lagi mencuri tanaman mereka. Bahkan mereka yang selalu mencuri tanah kami menjadi semakin sempit,” kata Kancil sambil terus berlari.
“Ahhh…,” teriak Kancil.
Kancil merasakan dunianya terbalik. Ia melihat tanah ada di atas dan langit ada di bawah. Karena panik dan kurang waspada, tanpa sengaja Kancil menginjak perangkap. Perangkap tersebut berupa jaring yang bila terinjak akan menutup dan menggantung hewan di dahan dengan posisi terbalik.
“Tolong . . .tolong . .,” teriak Kancil panik.
Kancil meronta-ronta berusaha meloloskan diri. Tetapi semakin ia meronta semakin erat jaring itu menjerat. Dengan posisi tubuh terbalik, Kancil merasakan seluruh aliran darahnya menuju ke kepala. Mata Kancil berkunang-kunang kemudian menjadi gelap. Kancil pingsan.
Entah berapa lama Kancil pingsan. Ketika siuman, Kancil merasakan suasana asing. Kancil tidak lagi melihat hijaunya semak-semak dan pepohonan hutan. Yang dia lihat adalah anyaman bambu yang mengelilingi tubuhnya.
Rupanya pemburu telah menangkapnya dan menaruhnya di dalam kurungan bambu. Kancil berusaha membuka kurungan bambu. Ia menendang kurungan bambu sekuat tenaga namun kurungan itu bergeming.
Di atas kurungan bambu terdapat pemberat. Bila ingin membuka kurungan, maka harus menurunkan pemberat terlebih dahulu.
Tidak jauh dari tempat Kancil dikurung, terlihat seorang manusia dan seekor Anjing. Pemburu itu berdiri dan melangkah ke dalam rumah. Anjing mengikuti langkah sang majikan, tetapi pemburu itu tidak berkenan. Pemburu dengan kasar menarik leher Anjing lalu menyeret Anjing dan mendudukkannya di depan kurungan bambu.
“kamu tetap disini. Jaga jangan sampai Kancil melarikan diri,” kata Pemburu.
Anjing dengan patuh menuruti perintah majikan. Sorot mata Anjing menampakkan ketakutan pada sang majikan. Anjing itu berjalan mondar-mandir di sekitar kurungan kancil.
“Halo Anjing, aku…,”
“Jangan bicara. Tuanku melarang aku bicara denganmu,” kata Anjing galak.
“Mengapa? Aku kan berada di dalam kurungan. Bicara tidak akan membuatku bebas dari kurungan ini,” kata Kancil.
“Tuanku kawatir, kalau aku bicara denganmu nanti kamu akan mengakali aku dengan kata-kata manismu.”
“Baiklah, aku akan diam. Tapi tolong ambilkan aku bola kecil di dekatmu itu. Kalau ada bola aku pasti tidak akan bicara karena syik bermain,” kata Kancil.
“Nih,” kata Anjing seraya menendang bola ke arah Kancil.
Anjing berjalan mondar-mandir sambil matanya terus mengawasi Kancil. Sedangkan Kancil asyik bermain-main dengan bola kecil pemberian Anjing. Kancil memantul-mantulkan bola, menendang-nendang bola dan menyundul-nyundul bola.
Anjing yang bosan berjalan mondar-mandir akhirnya duduk sambil melihat polah Kancil bermain bola. Melihat Kancil asyik bermain dengan bola, sebenarnya Anjing ingin ikut bermain. Kancil bisa melihat keinginan Anjing itu.
Dengan berpura-pura tidak sengaja, Kancil melemparkan bola sehingga keluar dari kurungan dan mendarat di kaki Anjing.
“Anjing, tolong lemparkan bola itu kembali,” pinta Kancil.
Anjing menendang bola kembali ke kurungan. Beberapa Kancil dengan sengaja menendang bola keluar kurungan dan meminta Anjing menendangnya kembali ke kurungan. Akhirnya Kancil dan Anjing bermain bersama.
“Kenapa punggungmu? Tanya Kancil sambil menunjuk punggung Anjing yang tampak beberapa guratan merah seperti luka yang baru sembuh.
“Ah, tidak apa-apa,” jawab Anjing yang berusaha menutupi rahasia.
“Aku punya teman seekor kuda. Punggungnya juga terdapat guratan-guratan merah sepertimu. Katanya itu akibat dicambuk tuannya,” kata Kancil.
“Iya, ini juga karena cambuk tuanku,” jawan Anjing.
“Pasti sakit sekali ya?”
“Ya begitulah.”
“Tidak inginkah kamu mempunyai majikan yang menyayangimu? Majikan yang akan mengajakmu bermain saat kamu bosan.”
“Ingin. Tapi mau bagimana lagi?”
“Oh ya, aku punya sahabat manusia yang sangat menyanyangi binatang. Aku bisa mengenalkanmu padanya dan dia pasti akan senang memeliharamu,” kata Kancil
“Apakah ia baik dan tidak akan mencabuki aku?”
“Ia sangat baik dan aku jamin ia tidak akan mencambuki kamu. Tapi tolong dong, jatuhkan pemberat di atas kurungan bambu ini,” pinta Kancil.
Anjing menjatuhkan pemberat di atas kurungan bambu. Setelah tidak ada lagi pemberat maka dengan mudah Kancil dapat membuka kurungan itu. Kancil dan Anjing kemudian melarikan diri ke dalam hutan.
Keesokan hari, Kancil dan Anjing pergi ke ladang Pak Tani. Mereka berdua menemui Anak Pak Tani. Sesampai di gubuk bambu di tengah ladang, Kancil dan Anjing mengendus tangan Anak Pak Tani. Anak Pak Tani mengelus-elus Kancil dan Anjing bergantian. Saat Anak Pak Tani mengelus Anjing, Kancil bergegas pergi meninggalkan mereka.
“Sampai jumpa lagi, Kancil. Aku akan merawat Anjing ini dengan baik.” Kata Anak Pak Tani sambil melambaikan tangan.
Anak Pak Tani tahu maksud Kancil, dengan senang hati Anak Pak Tani menerima Anjing. Anak Pak Tani sangat menyayangi Anjing. Ia selalu mengajak Anjing bermain bola dan bermain kejar-kejaran. Anjing sangat senang karena ia tidak lagi menerima cambukan seperti dulu.


Kancil dan Monyet
Pada suatu pagi yang cerah Kancil berjalan santai. Ia berencana akan ke tempat sahbatnya yaitu Anak Pak Tani dan Anjing. Dua hari yang lalu, Anjing mengundang Kancil untuk membantu mereka memanen ketimun.
Di tengah perjalanan, Kancil mendengar suara ribut-ribut. Suara-suara itu sangat keras seperti orang yang sedang bertengkar.
“Pisang ini milikku!”
“Bukan. Ini punyaku!”
“Aku yang pertama kali melihat. Jadi pisang ini milikku!”
“Tapi aku yang pertama kali memegang. Jadi pisang ini punyaku!”
Dua Ekor Monyet bertengkar hebat memperebutkan sesisir pisang. Suaranya sangat keras dan lantang. Sesisir pisang itu tertarik ke kiri dan ke kanan, mengikuti tarikan tangan Monyet.
Dua Ekor Monyet itu tidak ada yang mau mengalah. Masing-masing ingin menguasai semua pisang itu. Masing-masing ingin memakannya sendiri dan tidak ada yang mau berbagi.
Kancil menghampiri dua ekor Monyet yang sedang bertengkar.
Ada apa ini? Mengapa kaian bertengkar?” tanya Kancil.
“Pisang ini milikku!” kata Monyet satu.
“Bukan. Ini punyaku!” bantah Monyet dua.
“Sabar. Sabar. Jangan saling menyela.”
“Memangnya apa urusanmu!” kata dua ekor Monyet serentak.
“Memang bukan urusanku, tapi aku bisa membantu kalian untuk menentukan pemilik pisang yang sah.”
“Baiklah. Kami menyerahkan masalah ini padamu Cil.” kata Monyet satu.
“Tapi kamu harus adil dan tidak memihak, Cil” kata Monyet dua.
“Aku akan adil. Sekarang ceritakan mulai awal.”
“Waktu itu kami berdua sedang berjalan bersama, tiba-tiba aku melihat sesisir pisang, aku kemudian berteriak bahwa ada pisang. Dan temanku ini langsung berlari mengambilnya.”
“Salah sendiri kenapa ia lambat. Memang ia yang pertama melihat, tapi kan aku yang pertama memegangnya.”
Kancil mengangguk-angguk kemudian ia berkata “Aku kurang mengerti cerita kalian. Bisa kalian ulangi lagi?”
Dua ekor Monyet itu bercerita sekali lagi tetapi Kancil tetap saja mengaku tidak mengerti.
“Bisakah kalian memperagakan kejadian tadi sehingga aku lebih mudah memahami?” pinta Kancil.
“Baiklah,” kata Dua ekor Monyet serentak.
Salah satu Monyet meletakkan pisang di tempat semula. Mereka berdua berjalan menuju ke tempat semula sebelum mereka melihat pisang. Mereka berjalan dengan posisi membelakangi pisang.
“Kalian tetap diam disitu dahulu dan jangan mulai dulu sebelum aku siap,” kata Kancil.
Saat Dua ekor Monyet membelakangi pisang, Kancil mengambil pisang itu. Kancil celingukan. Kepalanya menengok ke kiri dan ke kanan. Kancil tersenyum saat ia menemukan yang ia cari.
Kancil melihat sebuah lubang di tanah yang tersembunyi di dalam semak-semak. Tanpa membuang waktu, Kancil memasukkan pisang ke dalam lubang lalu menutupinya dengan daun-daun kering.
“Aku sudah siap. Kalian bisa mulai!” kata Kancil.
Dua ekor Monyet membalik badan. Betapa terkejutnya mereka saat mereka melihat pisang itu tidak ada di tempat.
“Di mana pisang kami?” tanya dua ekor Monyet serentak.
“Pisang apa? Aku tidak melihat pisang,” kata Kancil pura-pura.
“Kamu pasti mau menipu kami, Cil,” kata Monyet satu.
“Tenang. Tenang. Semua masalah bisa dipecahkan bila kita tenang. Agar tenang, ambil nafas dalam-dalam kemudian hembuskan pelan-pelan,” kata Kancil.
Dua ekor Monyet menuruti nasehat Kancil. Mereka mengambil nafas dalam-dalam kemudian menghembuskan pelan-pelan.
“Karena kalian telah tenang. Mari kita bahas masalah ini. Apa yang kalian perebutkan tadi?” tanya Kancil.
“Satu sisir pisang,”kata Monyet satu.
“Sesisir pisang tadi ada berapa buah?”
“Sepuluh buah pisang,” jawab Monyet dua.
“Sepuluh buah kalau dibagi dua menjadi berapa?”
Lima buah,” jawab dua Monyet serentak.
“Dan sekarang, berapa buah pisang yang bisa kalian makan?”
“Tidak ada, Cil.”
“Lebih enak mana? Makan lima buah pisang atau tidak makan satu buahpun?”
“Ya, tentu saja makan lima buah. Kamu itu bagaimana sih,Cil?”
“Berarti kalian sudah sepakat kalau lebih enak makan lima buah pisang daripada tidak makan satu buahpun,” kata Kancil.
“Ya kami sepakat,” tanya dua ekor monyet serentak.
“Baiklah. Sebenarnya pisang itu tidak hilang. Aku cuma ingin menunjukkan pada kalian bahwa berbagi itu lebih enak.”
Kancil mengambil pisang yang ia sembunyikan di dalam lubang pohon tua. Ia membagi pisang itu menjadi dua sama besar.
“Nah, ini lima buah pisang untukmu,” kata Kancil sambil menyodorkan lima buah pisang pada Monyet satu.
“Dan, ini lima buah pisang untukmu,” kata Kancil sambil menyodorkan lima buah pisang pada Monyet dua.
“Terima kasih, Cil!” kata dua ekor Monyet serentak.
Dua ekor monyet itu bergembira. Hampir saja mereka kehilangan makan siang mereka karena berebut pisang. Dan yang paling buruk …… Hampir saja mereka kehilangan persahabatan mereka.
“Oh ya, Cil. Kami juga sepakat memberimu hadiah pisang. Masing-masing dari kami memberimu satu buah pisang. Lebih baik makan empat pisang daripada tidak makan sama sekali, ya toh,” kata Monyet satu.
“Dan kami menyadari, sebetulnya kalau kamu mau dan licik, kamu bisa memakannya semua dan tidak mengembalikan pada kami,” kata Monyet dua.
“Terima kasih, kawan. Aku melakukan ini tidak mengharapkan balasan. Tetapi karena kalian memberi dengan ikhlas, maka aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Kancil dan dua ekor Monyet makan pisang bagian mereka masing-masing. Mereka makan dengan lahap. Mereka menikmati nikmatnya berbagi.
Dongeng Anak Indonesia; Nikmatnya Saling berbagi
Aku telah bekerja dengan sungguh-sungguh, tapi kehidupanku tidak berkercukupan”. “Tolonglah aku agar hidup senang”. Sejak saat itu setiap selesai bekerja, Taro pergi ke kuil. Suatu malam, sesuatu yang aneh membangunkan Taro. Di sekitarnya menjadi bercahaya, lalu muncul suara. “Taro, dengar baik-baik. Peliharalah baik-baik benda yang pertama kali kau dapatkan esok hari. Itu akan membuatmu bahagia.”
Keesokan harinya ketika keluar dari pintu gerbang kuil, Taro jatuh terjerembab. Ketika sadar ia sedang menggenggam sebatang jerami. “Oh, jadi yang dimaksud Dewa adalah jerami, ya? Apa jerami ini akan mendatangkan kebahagiaan…?”, pikir Taro. Walaupun agak kecewa dengan benda yang didapatkannya Taro lalu berjalan sambil membawa jerami. Di tengah jalan ia menangkap dan mengikatkan seekor lalat besar yang terbang dengan ributnya mengelilingi Taro di jeraminya. Lalat tersebut terbang berputar-putar pada jerami yang sudah diikatkan pada sebatang ranting. “Wah menarik ya”, ujar Taro. Saat itu lewat kereta yang diikuti para pengawal. Di dalam kereta itu, seorang anak sedang duduk sambil memperhatikan lalat Taro. “Aku ingin mainan itu.” Seorang pengawal datang menghampiri Taro dan meminta mainan itu. “Silakan ambil”, ujar Taro. Ibu anak tersebut memberikan tiga buah jeruk sebagai rasa terima kasihnya kepada Taro.
“Wah, sebatang jerami bisa menjadi tiga buah jeruk”, ujar Taro dalam hati. Ketika meneruskan perjalanannya, terlihat seorang wanita yang sedang beristirahat dan sangat kehausan. “Maaf, adakah tempat di dekat sini mata air ?”, tanya wanita tadi. “Ada dikuil, tetapi jaraknya masih jauh dari sini, kalau anda haus, ini kuberikan jerukku”, kata Taro sambil memberikan jeruknya kepada wanita itu. “Terima kasih, berkat engkau, aku menjadi sehat dan segar kembali”. Terimalah kain tenun ini sebagai rasa terima kasih kami, ujar suami wanita itu. Dengan perasaan gembira, Taro berjalan sambil membawa kain itu. Tak lama kemudian, lewat seorang samurai dengan kudanya. Ketika dekat Taro, kuda samurai itu terjatuh dan tidak mampu bergerak lagi. “Aduh, padahal kita sedang terburu-buru.” Para pengawal berembuk, apa yang harus dilakukan terhadap kuda itu. Melihat keadaan itu, Taro menawarkan diri untuk mengurus kuda itu. Sebagai gantinya Taro memberikan segulung kain tenun yang ia dapatkan kepada para pengawal samurai itu. Taro mengambil air dari sungai dan segera meminumkannya kepada kuda itu. Kemudian dengan sangat gembira, Taro membawa kuda yang sudah sehat itu sambil membawa 2 gulung kain yang tersisa.
Ketika hari menjelang malam, Taro pergi ke rumah seorang petani untuk meminta makanan ternak untuk kuda, dan sebagai gantinya ia memberikan segulung kain yang dimilikinya. Petani itu memandangi kain tenun yang indah itu, dan merasa amat senang. Sebagai ucapan terima kasih petani itu menjamu Taro makan malam dan mempersilakannya menginap di rumahnya. Esok harinya, Taro mohon diri kepada petani itu dan melanjutkan perjalanan dengan menunggang kudanya.
Tiba-tiba di depan sebuah rumah besar, orang-orang tampak sangat sibuk memindahkan barang-barang. “Kalau ada kuda tentu sangat bermanfaat,” pikir Taro. Kemudian taro masuk ke halaman rumah dan bertanya apakah mereka membutuhkan kuda. Sang pemilik rumah berkata,”Wah kuda yang bagus. Aku menginginkannya, tetapi aku saat ini tidak mempunyai uang. Bagaimanan kalau ku ganti dengan sawahku ?”. “Baik, uang kalau dipakai segera habis, tetapi sawah bila digarap akan menghasilkan beras, Silakan kalau mau ditukar”, kata Taro.
“Bijaksana sekali kau anak muda. Bagaimana jika selama aku pergi ke negeri yang jauh, kau tinggal disini untuk menjaganya ?”, Tanya si pemilik rumah. “Baik, Terima kasih Tuan”. Sejak saat itu taro menjaga rumah itu sambil bekerja membersihkan rerumputan dan menggarap sawah yang didapatkannya. Ketika musim gugur tiba, Taro memanen padinya yang sangat banyak.
Semakin lama Taro semakin kaya. Karena kekayaannya berawal dari sebatang jerami, ia diberi julukan “Saudagar Jerami”. Para tetangganya yang kaya datang kepada Taro dan meminta agar putri mereka dijadikan istri oleh Taro. Tetapi akhirnya, Taro menikah dengan seorang gadis dari desa tempat ia dilahirkan. Istrinya bekerja dengan rajin membantu Taro. Merekapun dikaruniai seorang anak yang lucu. Waktu terus berjalan, tetapi Si pemilik rumah tidak pernah kembali lagi. Dengan demikian, Taro hidup bahagia bersama keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar