Senin, 08 Juli 2013

PIRING KAYU DAN GELAS BAMBU




SEORANG lelaki tua yang baru ditinggal mati isterinya tinggal bersama
anaknya, Arwan dan menantu perempuannya - Rina, serta cucunya - Viva
yang baru berusia enam tahun. Keadaan lelaki tua itu sudah uzur,
jari-jemarinya senantiasa gemetar dan pandangannya semakin hari
semakin buram.

Malam pertama pindah ke rumah anaknya, mereka makan malam bersama.
Lelaki tua itu merasa kurang nyaman menikmati hidangan di meja makan.
Dia merasa amat canggung menggunakan sendok dan garpu. Selama ini dia
gemar bersila, tapi di rumah anaknya dia tiada pilihan. Cukup sukar
dirasakannya, sehingga seringkali makanan tersebut tumpah. Sebenarnya
dia merasa malu seperti itu di depan anak menantu, tetapi dia
gagal menahannya. Oleh karena kerap sekali dilirik menantu, selera
makannyapun hilang. Dan tatkala dia memegang gelas minuman,
pegangannya terlepas... Praaaaannnnnggggg !!! Bertaburanlah serpihan
gelas di lantai.

Pak tua menjadi serba salah. Dia bangun, mencoba memungut serpihan
gelas itu, tapi Arwan melarangnya. Rina cemberut, mukanya masam. Viva
merasa kasihan melihat kakeknya, tapi dia hanya dapat melihat untuk
kemudian meneruskan makannya.

"Esok ayah tak boleh makan bersama kita," Viva mendengar ibunya
berkata pada kakeknya, ketika kakeknya beranjak masuk ke dalam kamar.
Arwan hanya membisu. Sempat anak kecil itu memandang tajam ke dalam
mata ayahnya.

Demi memenuhi tuntutan Rina, Arwan membelikan sebuah meja kecil yang
rendah, lalu diletakkan di sudut ruang makan. Di situlah ayahnya
menikmati hidangan sendirian, sedangkan anak menantunya makan di meja
makan. Viva juga dilarang apabila dia merengek ingin makan bersama
kakeknya.

Air mata lelaki tua meleleh mengenang nasibnya diperlakukan demikian.
Ketika itu dia teringat kampung halaman yang ditinggalkan. Dia
terkenang arwah isterinya. Lalu perlahan - lahan dia berbisik : "Mah...
buruk benar layanan anak kita pada abang."

Sejak itu, lelaki tua merasa tidak betah tinggal di situ. Setiap hari
dia dihardik karena menumpahkan sisa makanan. Dia diperlakukan seperti
budak. Pernah dia terpikir untuk lari dari situ, tetapi begitu dia
teringat cucunya, dia pun menahan diri. Dia tidak mau melukai hati
cucunya. Biarlah dia menahan diri dicaci dan dihina anak menantu.

Suatu malam, Viva terperanjat melihat kakeknya makan menggunakan
piring kayu, begitu juga gelas minuman yang dibuat dari bambu. Dia
mencoba mengingat - ingat, dimanakah dia pernah melihat piring seperti itu.
"Oh ! Ya..." bisiknya.
Viva teringat, semasa berkunjung ke rumah sahabat papanya, dia melihat
tuan rumah itu memberi makan kucing - kucing mereka menggunakan
piring yang sama !

"Tak akan ada lagi yang pecah, kalau tidak begitu, nanti habis piring
dan mangkuk ibu," kata Rina apabila anaknya bertanya.

Waktu terus berlalu. Walaupun makanan berserakan setiap kali waktu
makan, tiada lagi piring atau gelas yang pecah.
Apabila Viva memandang kakeknya yang sedang menyuap makanan,
kedua - duanya hanya berbalas senyum.

Seminggu kemudian, sewaktu pulang bekerja, Arwan dan Rina terperanjat
melihat anak mereka sedang bermain dengan kepingan - kepingan kayu.

Viva seperti sedang membuat sesuatu. Ada palu, gergaji dan pisau di
sisinya.
"Sedang membuat apa sayang ? Berbahaya main benda - benda seperti ini,"
kata Arwan menegur manja anaknya.
Dia sedikit heran bagaimana anaknya dapat mengeluarkan peralatan itu,
padahal ia menyimpannya di dalam gudang.

"Mau bikin piring, mangkuk dan gelas untuk Ayah dan Ibu. Bila Viva
besar nanti, supaya tak susah mencarinya, tak usah ke pasar beli
piring seperti untuk Kakek," kata Viva.

Begitu mendengar jawaban anaknya, Arwan terkejut. Perasaan Rina
terusik. Kelopak mata kedua - duanya basah. Jawaban Viva menusuk seluruh
jantung, terasa seperti diiiris pisau. Mereka tersentak, selama ini
mereka telah berbuat salah !

Malam itu Arwan menuntun tangan ayahnya ke meja makan. Rina
menyendokkan nasi dan menuangkan minuman ke dalam gelas.

Nasi yang tumpah tidak dihiraukan lagi. Viva beberapa kali memandang
ibunya, kemudian ayah dan terakhir wajah kakeknya. Dia tidak
bertanya, cuma tersenyum saja, bahagia dapat duduk bersebelahan lagi
dengan kakeknya di meja makan. Lelaki tua itu juga tidak tahu kenapa
anak menantunya tiba - tiba berubah.

"Esok Viva mau buang piring kayu dan gelas bambu itu," kata Viva pada
ayahnya setelah selesai makan.
Arwan hanya mengangguk, tetapi dadanya masih terasa sesak.

MORAL OF THE STORY ?
Hargailah kasih sayang kedua orang tua kita.
Bapak Ibu kita hanya satu, setelah meninggal tidak akan ada pengganti.
Jadi, berbaktilah kepada mereka selagi hidup.

Sumber: Sugiarto.Wijaya
Life is a Journey--Choose The Way Carrefully

Tidak ada komentar:

Posting Komentar